top of page
Search

Ringkasan dan Kesimpulan Mengenai Buku Polemik Tafsir Pancasila dari CSCR Report UGM oleh Kelompok 1

  • Willy
  • Mar 24
  • 13 min read

Updated: Jun 1


ree

  1. Celine Mercy T. - 2410101043

Buku Polemik Tafsir Pancasila dari CSCR Report membahas bagaimana Pancasila sering dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok politik dan agama di Indonesia. Perbedaan tafsir ini sering menimbulkan perdebatan, terutama dalam kaitannya dengan Islam, demokrasi, dan ideologi lain seperti komunisme.


Buku ini mencatat bahwa sejak tahun 2017, pemerintah semakin memperkuat posisi Pancasila, misalnya dengan menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, membuat kampanye “Pekan Pancasila,” dan membentuk lembaga khusus untuk mengawasi penerapan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan aturan yang memungkinkan pembubaran organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.


Ada lima topik utama yang dibahas dalam buku ini:


1. Pancasila dan Islam – Bagaimana Pancasila dipahami dalam konteks agama Islam, serta bagaimana perannya dalam kehidupan bernegara.

2. Pancasila dan organisasi/partai Islam – Bagaimana kelompok Islam menggunakan atau menolak Pancasila dalam politik.

3. Pancasila dan komunisme – Hubungan sejarah antara Pancasila dan komunisme di Indonesia, serta konflik yang terjadi.

4. Pancasila dan demokrasi – Bagaimana Pancasila diterapkan dalam sistem demokrasi dan tantangan yang dihadapinya.

5. Pancasila setelah Reformasi – Perubahan cara pandang terhadap Pancasila setelah era Reformasi dan dampaknya terhadap politik serta masyarakat.


Kesimpulannya, buku ini menunjukkan bahwa Pancasila tidak memiliki makna yang tetap, tetapi selalu berubah sesuai dengan kepentingan politik dan sosial yang berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, memahami siapa yang menafsirkan Pancasila dan untuk tujuan apa menjadi hal yang sangat penting.


Makna hidup: Sebuah kesempatan yang diberi Tuhan untuk belajar menjadi teladan bagi orang sekitar


  1. Jovan Vito Viani - 2410101002

Pancasila sering dianggap sebagai dasar negara yang fleksibel, tetapi hal ini juga menjadi sumber perdebatan. Sejarah mencatat bahwa para pendiri bangsa sendiri memiliki pemahaman yang berbeda mengenai Pancasila, baik dalam hubungan antarsilanya maupun dalam aplikasinya dalam kebijakan negara. Ada yang memandang Pancasila sebagai satu kesatuan yang hierarkis (misalnya dalam pandangan Notonagoro), sementara yang lain melihatnya sebagai nilai-nilai yang setara. Sejak awal, para pendiri bangsa memiliki pemahaman yang berbeda tentang Pancasila. Tafsir Pancasila bisa berubah tergantung konteks politik dan sosial yang berkembang.


Pada tahun 2017 merupakan tahun yang penting dalam sejarah pancasila, terdapat 4 peristiwa yang layak dicatat. Peristiwa pertama, pada tanggal 1 Juni merupakan hari lahir pancasila. Kedua, kegiatan pemerintah seperti kampanye di berbagai media dengan tajuk “Pekan Pancasila” pada tanggal 29 Mei - 4 Juni. Peristiwa ketiga, Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Peristiwa keempat, Pancasila mengalami penguatan posisi untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang mengkampanyekan ideologi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.


Hal yang terakhir terjadi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Di samping kampanye dari pemerintah, beberapa inisiatif muncul dari lembaga masyarakat. Dengan melihat sejarah bagaimana Pancasila dipahami, ditafsirkan, dan diterapkan dalam diskursus politik, laporan ini mengajukan pandangan bahwa Pancasila itu multitafsir dan munculnya kepelbagaian tafsir terhadap Pancasila tak bisa lepas dari wacana dan kontestasi politik pada satu periode tertentu. Untuk mengelaborasi pandangan ini, lima isu dibahas dalam laporan ini, yaitu (1) Pancasila dan Islam; (2) Pancasila dan organisasi/partai Islam; (3) Pancasila dan Marxisme/komunisme; (4) Pancasila dan demokrasi; dan (5) Pancasila pasca-Reformasi.


Sepanjang sejarah, Pancasila sering digunakan sebagai alat justifikasi politik oleh berbagai rezim. Misalnya, Orde Baru menggunakan "Pancasila sebagai asas tunggal" untuk menekan oposisi politik dan menyingkirkan ideologi lain seperti komunisme. Namun, di era Reformasi, tafsir atas Pancasila menjadi lebih terbuka, meskipun tetap rentan terhadap manipulasi oleh kekuasaan. Demokrasi yang diterapkan dalam berbagai era kepemimpinan pemerintahan di Indonesia juga berbeda-beda, mulai dari Demokrasi Terpimpin di era Presiden sukarno hingga demokrasi Pancasila di masa Orde Baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dimana letak yang benar-benar mencerminkan demokrasi yang sesuai dengan Pancasila. Sejarah menunjukkan bahwa Pancasila sering digunakan oleh pemerintah untuk membenarkan kebijakan tertentu. Misalnya, pada era Orde Baru, Pancasila digunakan sebagai alat untuk menekan ideologi lain. Sejarah menunjukkan bahwa Pancasila sering digunakan oleh pemerintah untuk membenarkan kebijakan tertentu. Pada era Orde Baru, Pancasila digunakan sebagai alat untuk menekan ideologi lain. Kemudian adapun pandangan berbeda yang melihat sila-sila Pancasila sebagai satu kesatuan yang hierarki. Pandangan lain melihatnya sebagai nilai-nilai yang setara, tanpa urutan prioritas.


Beberapa kebijakan dan hukum, seperti RUU Anti-Pornografi atau KUHP, menunjukkan bagaimana tafsir Pancasila dapat digunakan untuk mendukung argumen yang bertolak belakang. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya konsep filosofis tetapi juga memiliki dampak nyata dalam kebijakan negara.


  1. Cynthia Keisha - 2410101044

Pada Polemik Tafsir Pancasila menjelaskan tentang bagaimana Pancasila mengalami perubahan-perbahan tafsir pada berbagai era politik pada tahun 2017 menjadi momen penting dengan ditetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan penerbitan perppu Ormas No.2 tahun 2017 yang dilakukan secara cepat pada pembubaran prmas yang dianggap bertentagan dengan Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Perppu ini memperluas definisi “ideologi bertentangan dengan Pancasila” hingga mencakup ajaran yang ingin menggatikan dasar negara.


Sejak dulu, tafsir pancasila selalu berubah. Pada masa Sukarno, Pancasila merangkul bersama nasionalisme, islamisme, dan marxisme. Order baru lalu menjadikannya alat kontrol politik dengan tafsir tunggal lewat konsep demokrasi pancasila setelah reformasi pancasila sempat dilupakan tapi muncul kembali sebagai simbol menjaga keberagaman terutama untuk melawan gerakan islam politik.


Perdebatan juga muncul di kalangan islamis yang berusaha menafsirkan pancasila sesuai ajaran tauhid menekankan bahwa pada sila pertama adalah cerminan keimanan kepada allah.


Dari PDF tafsir pancasila adalah hal yang wajar dan tak terhindarkan karena sifatnya yang umum dan terbuka. Namun ketika tafsir tunggal dipaksakan dan digunakan sebagai alat politik untuk menekan lawan maka pancasila justru kehilangan makna aslinya sebagai dasar pemersatu bangsa


Apa arti hidup : bagi saya hidup itu adalah peristiwa untuk melakukan perubahan terhadap diri maupun lingkungan sendiri sekitar


  1. Rhifqi Syahputra Priyambodo - 2410101003

Tahun 2017 penting bagi Pancasila dengan empat kejadian: 1 Juni jadi hari libur nasional pertama, “Pekan Pancasila” digelar 29 Mei-4 Juni, Presiden Jokowi bentuk UKP-PIP, dan Pancasila diperkuat sebagai alat hukum untuk bubarkan ormas bertentangan dengan nilainya.


Pada 10 Juli 2017, pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 untuk menggantikan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, karena dianggap tidak memadai akibat prosedur pembubaran ormas yang panjang dan lambat, sementara ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum dengan cepat, meskipun UU Ormas lama belum pernah digunakan untuk membubarkan ormas.


Berbeda dengan era pasca-Reformasi, saat ormas atau partai politik bisa menjadikan Islam sebagai landasan organisasi (termasuk HTI yang pernah berstatus badan hukum), Pancasila—yang dikenal sebagai “dasar filsafat” negara, “pandangan hidup” bangsa, atau “prinsip dasar negara” menurut Notonagoro (1955)—pernah diposisikan berlawanan dengan Islam sebagai ideologi politik, terutama pada masa Orde Lama dan lebih kentara lagi di masa Orde Baru.


Badan Konstituante (1956-1959) era Sukarno debat sengit soal dasar negara, ganti UUD 1945, terbagi jadi blok Pancasila (53%, PNI, PKI), Islam (44%, Masyumi, NU), dan Sosio-Ekonomi. Pancasila dikritik terbuka—Alisjahbana (PSI) bilang kontradiktif, blok Islam nilai ambigu dan sekuler, Roeslan (PNI) bela sebagai sintesis. Gagal sepakat, Dekrit 5 Juli 1959 kembalikan UUD 1945, tunjukkan Pancasila multitafsir.


Sukarno ingin Pancasila inklusif, Orde Baru jadikan eksklusif via TAP MPRS XX/1966 dan asas tunggal (UU 3/1985, 8/1985). Pancasila masuk demokrasi, ekonomi, moral; partai Islam dipaksa ke PPP, P4 (TAP MPR II/1978) ditentang Natsir, dan ormas Islam harus kompromi atau bubar, picu kekerasan (Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989). Pancasila jadi alat penekan politik.


Orde Baru melarang komunisme dan Marxisme sebagai anti-Pancasila (TAP MPRS XXV/1966, UU Ormas 8/1985, hingga Perppu 2/2017), tapi Sukarno di Orde Lama mendukungnya. Dipengaruhi Marxisme, ia menyatukan nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (1926), menyebut Islam sosialis, dan menghubungkan sila kelima dengan eksploitasi Marxis, serta mengusulkan Nasakom. Baginya, Pancasila terinspirasi Marxisme, bertentangan dengan Orde Baru.


Penerjemahan Pancasila, khususnya sila keempat, berbeda tiap era. Awal Orde Lama (1945-1959) mengabaikan Pancasila demi revolusi dan demokrasi parlementer UUDS 1950. Dekrit 5 Juli 1959 lahirkan Demokrasi Terpimpin, kembalikan UUD 1945, pusatkan kuasa pada Sukarno via Manipol-USDEK, hingga jatuh 1965. Orde Baru bangun Demokrasi Pancasila, anti-komunis, kuatkan Golkar, dan pusatkan kuasa pada Soeharto. Kedua rezim tunjukkan UUD 1945 dukung otoritarianisme via sila keempat.


Awal pasca-Reformasi, Pancasila redup, tapi TAP MPR XVIII/1998 cabut P4 dan tegaskan dasar negara, amandemen UUD 1999-2002 tolak Piagam Jakarta, lebih demokratis. Kemudian, Pancasila bangkit dari sipil lawan Islamis (HTI, FPI, perda syariah) pasca-Reformasi. MUI (2005) fatwa anti-pluralisme, UU Penodaan Agama sering dipakai. Maklumat 2006 dan SBY dukung Pancasila terbuka, tapi Islamis (Hidayat, Ma’ruf, Adian) tafsir sila pertama sebagai tauhid, anti-sekuler. MK (2009-2010) pertahankan UU Penodaan Agama via sila pertama, batasi kebebasan. Pancasila jadi rebutan kebinekaan dan Islamis.


Awal pasca-Reformasi, Pancasila redup, tapi TAP MPR XVIII/1998 cabut P4, amandemen UUD 1999-2002 tolak Piagam Jakarta, lebih demokratis. Pancasila bangkit dari sipil lawan Islamis (HTI, FPI) pasca-2005, MUI fatwa anti-pluralisme, UU Penodaan Agama aktif. Maklumat 2006 dan SBY dukung Pancasila terbuka, tapi Islamis tafsir sila pertama sebagai tauhid. MK (2009-2010) pertahankan UU itu, batasi kebebasan. Pancasila diperebutkan kebinekaan dan Islamis.



Makna Hidup:

Hidup menurut saya adalah sebuah pengulangan dari kehidupan yang pernah ada di jaman dahulu. Kemungkinan merubah kehidupan dari yang sudah diberikan orang tua untuk membuat kehidupan yang lebih baik sangat sulit.


  1. Ceeley Richela - 2410101008

Peristiwa-peristiwa terkait Pancasila, seperti munculnya Perppu Ormas pada 2017, dapat dilihat sebagai respons terhadap dinamika sosial dan politik yang berkembang, terutama terkait dengan ancaman terhadap nilai-nilai kebangsaan yang tercermin dalam Pancasila. Dalam beberapa tahun sebelumnya, berbagai gerakan yang menuntut penerapan hukum Islam dan ideologi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila mulai mencuat. Keberagaman ideologi dan tafsir terhadap Pancasila, terutama dalam kaitannya dengan masalah agama dan kebhinekaan, memicu perdebatan publik. Munculnya Perppu Ormas yang memberikan wewenang lebih besar untuk membubarkan organisasi dianggap sebagai langkah pemerintah untuk menjaga stabilitas negara dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dalam menghadapi kelompok atau organisasi yang dianggap berpotensi merongrong ideologi tersebut.


Hal-hal yang dinyatakan sebagai bertentangan dengan Pancasila berbeda-beda dari satu periode politik ke periode politik lain:


Pancasila dan Islam

Pancasila memiliki sila sila yang bermakna luas sehingga dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Banyak tokoh penting di kala itu (masa pemerintahan soekarno) memperdebatkan pancasila sebagai dasar negara karena sifatnya yang terlalu luas dan multitafsir, dan kelompok islam kala itu menunjukan kelemahan-kelemahan pancasila dan mengusulkan untuk menjadikan islam sebagai dasar negara.


Persoalan ini didebatkan selama 4 tahun dan tidak dapat mencapai titik tengah, sehingga soekarno akhirnya membubarkan konstituante melalui dekrit presiden 5 Juli 1959 dan menetapkan kembali berlakunya UUD’45 sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45 dan “merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi”.


Ambiguitas makna “menjiwai” dan “satu rangkaian kesatuan” ini di kemudian hari masih memengaruhi diskursus hubungan Islam-Pancasila dalam tata perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.


Pancasila dan Organisasi/Partai

Pada masa Orde Baru, Soeharto menegaskan Pancasila sebagai “sumber dari segala sumber hukum” melalui TAP MPRS XX/MPRS/1966, yang menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah. Pancasila kemudian diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk melalui TAP MPR II/MPR/1978 yang menetapkan P4 sebagai pedoman moral bagi warga negara.


Kebijakan ini mendapat penolakan dari PPP yang menilai P4 dan PMP menjadikan Pancasila seperti agama. Ketegangan politik mendorong Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua parpol dan ormas demi menjaga stabilitas. Namun, kebijakan ini dikritik, termasuk oleh Prawiranegara, yang menilai larangan asas Islam melanggar UUD 1945. Penolakan asas tunggal memicu kekerasan, menunjukkan bahwa Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk menekan oposisi politik.


Pancasila dan Marxisme/ Komunisme

Soekarno sendiri sebagai penggali dari pancasila ini sangat terpengaruh marxisme. terutama dalam aspek perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Dalam pemikirannya, Marxisme, Islamisme, dan Nasionalisme dapat bersatu untuk membebaskan bangsa dari penindasan. Sehingga Di masa-masa akhir pemerintahannya, Soekarno menggagas “Sosialisme ala Indonesia” dan Nasakom, persatuan tiga kekuatan politik: nasionalis, agama, dan komunis. Dalam Pantja Sila Sebagai Dasar Negara itu, Sukarno merujukkan sila kelima (keadilan sosial) ke konsep Marxis mengenai eksploitasi.



Sebaliknya, Orde Baru melarang Marxisme/Leninisme dan menganggapnya bertentangan dengan Pancasila, meskipun Soekarno sebagai penggali Pancasila justru memasukkan unsur-unsur pemikiran Marxis dalam gagasannya, terutama dalam konsep keadilan sosial. Hal ini menciptakan paradoks dalam cara Orde Baru menafsirkan Pancasila.


Pancasila dan Demokrasi

Pada 1950-1959, Indonesia menganut demokrasi parlementer berdasarkan UUDS 1950, namun sistem ini memicu instabilitas politik dan perpecahan partai. Hal ini mendorong Sukarno menghapus sistem multipartai dan memperkenalkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Sukarno menolak demokrasi dan ekonomi liberal, menggagas Manipol-USDEK, serta memperkuat kekuasaannya dengan mengontrol pers, membubarkan oposisi, dan menerapkan konsep Nasakom yang memperkuat PKI. Ketegangan antara PKI dan militer berujung pada Peristiwa 1965 dan kejatuhan Sukarno.


Era Soeharto (1966-1998) menerapkan Demokrasi Pancasila yang tetap otoriter, dengan anti-komunisme sebagai dasar legitimasi. Partai politik dibatasi hanya tiga: PPP, PDI, dan Golkar, yang menjadi alat pemerintah. Soeharto mengendalikan DPR dan MPR, membatasi ideologi politik, serta menekankan stabilitas nasional. Baik Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila bersumber pada UUD 1945 pra-amandemen yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden tanpa checks and balances, memungkinkan pemusatan kekuasaan dan pembungkaman oposisi.


Pancasila Pasca Reformasi

Pasca-Reformasi, Pancasila sempat terlupakan karena asosiasinya dengan Orde Baru, namun kembali relevan setelah MPR mengeluarkan TAP Nomor XVIII/MPR/1998 yang menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Amandemen UUD 1945 mempertahankan Pembukaan dan menanggulangi pengembalian "tujuh kata" Piagam Jakarta. Pancasila semakin penting saat gerakan Islamis muncul dengan tuntutan hukum Islam, meskipun dominasi partai sekuler tetap bertahan. Pancasila dijadikan simbol kebhinekaan, namun diskursusnya kompleks dengan Islamis yang berusaha mengapropriasi tafsir Pancasila.


Setelah deklarasi Maklumat Keindonesiaan, KH Ma’ruf Amin menekankan pentingnya agama dalam Pancasila, menganggap negara Indonesia bukan sekuler, dan mendukung kontribusi agama, terutama Islam. Penulis seperti Adian Husaini juga mengkritik tafsir sekuler dan menekankan bahwa sila pertama harus dipahami sebagai tauhid, berdasarkan pandangan tokoh-tokoh seperti Bung Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo.


Upaya mengapropriasi tafsir Pancasila tercermin dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait UU PPPA, yang menegaskan bahwa kebebasan beragama di Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai agama dalam Pancasila. Secara keseluruhan, Pancasila mengalami tarik-ulur diskursif di era pasca-Reformasi, menjadi simbol kebhinekaan, namun juga menjadi alat perjuangan bagi kelompok Islamis dalam melawan pandangan sekuler-liberal.



KESIMPULAN


Karena sifat Pancasila yang terbuka dan mengakomodasi keragaman, tidak ada satu tafsiran tunggal yang dapat dianggap sepenuhnya objektif atau final. Karena adanya banyak tafsir yang sah terhadap Pancasila, persoalan ini sering kali bersifat subjektif dan tergantung pada interpretasi yang dominan dalam masyarakat atau di kalangan pembuat kebijakan.


Dalam konteks Perppu Ormas, misalnya, kebijakan tersebut mencoba memberi batasan dengan merujuk pada ajaran atau tindakan yang dianggap secara nyata bertentangan dengan Pancasila dan mengancam stabilitas negara. Namun, hal ini dapat menimbulkan perdebatan tentang sejauh mana kebijakan tersebut adil dan objektif dalam menentukan "penentangan" terhadap Pancasila.


Makna Hidup: Hidup adalah kesempatan untuk merasakan, mempelajari, dan mengalami berbagai hal.


  1. Luisa Haning Tyas - 2410101018

Dokumen Polemik Tafsir Pancasila ini membahas mengenai sifat multitafsirnya Pancasila dengan mendalami 5 isu yaitu :


1. Pancasila dan Islam

Konstituante tidak mampu mencapai kuorum bahkan setelah sidang selama 4 tahun karena kelompok Islam memperlihatkan kelemahan-kelemahan Pancasila(ambigu, makna yang kabur) sambil menyatakan bahwa Islam dapat menjadi dasar negara yang lebih jelas dan komprehensif. Akhirnya Sukarno membubarkan konstituante pada Dekrit Presiden 5 Juli 2959 dan menetapkan kembali UUD ‘45 sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45 dan “merupakan satu rangkaian kesatuan

dengan Konstitusi”.


2. Pancasila dan organisasi/partai Islam

Partai-Partai Islam memiliki respons negatif terhadap program P4 masa Orde Baru- menjadikan pancasila semacam agama/dijadikan moral. Terjadi beberapa peristiwa bentrok fisik antara pendukung Golkar dan PPP, sehingga Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal semua partai. Hal itu malah memicu terjadinya lagi kekerasan. Kemultitafsiran Pancasila berpotensi menjadi senjata untuk melawan oposisi politik yang memiliki pandangan bertentangan.


3. Pancasila dan Marxisme/komunisme

Sukarno berargumen bahwa Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme perlu bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan dan melawan imperialisme. Pancasila dirumuskan dengan adanya inspirasi dari gagasan Marxis, sehingga pandangan Orde Baru bahwa Marxisme/komjunisme bertentangan dengan pancasila adalah pandangan yang bertentangan dengan logika atau memperlihatkan kontradiksi internal.


4. Pancasila dan Demokrasi

Pancasila utamanya sila ke empat digunakan untuk menjustifikasi otoritarianisme, Menghasilkan Demokrasi Terpimpin oleh Sukarno dan Demokrasi Pancasila Soeharto


5. Pancasila Pasca-Reformasi

Kelompok Islam(is) berupaya untuk mengambil alih interpretasi Pancasila sebagai upaya untuk menolak penafsiran yang dianggap mereka telah dimasukkan ke dalam kerangka sekuler-liberal.


Kesimpulan

Pancasila memiliki kemultitafsiran yang berarti dapat ditafsirakan melalui beberapa sisi pandang yang berbeda. Hal ini memungkinkan berbagai golongan politik untuk memberikan interpretasi yang sesuai dengan kepentingannya pada setiap periode politik. Setelah kemerdekaan, Pancasila sempat dilupakan yaitu dibentuknya konstituante, namun kemudian digunakan sebagai dasar negara dengan tafsir yang berubah-ubah sesuai kebutuhan politik, seperti justifikasi otoritarianisme. Sifat multitafsir ini menjadi tantangan, terutama dalam penerapannya sebagai instrumen hukum yang sering mengesampingkan prinsip "lex certa". Dengan Pancasila yang telah ditetapkan dalam konstitusi, kontestasi kini terjadi dalam bentuk tafsir terhadap Pancasila, yang sering dimanfaatkan untuk mendukung klaim politik tertentu. Oleh karena itu, laporan ini merekomendasikan agar Pancasila tidak digunakan secara eksklusif untuk tujuan politik tertentu, mengingat potensinya yang lebih besar sebagai ruang diskursif bagi gagasan-gagasan mengenai cita-cita bangsa yang relevan dengan semangat zaman.


Makna Hidup : Mencari pengalaman, membuat kenangan, dan relationship dengan orang lain


  1. Khiar Zaki Maulana - 2410101038

Khiar Zaki Maulana - 2410101038


Laporan “Polemik Tafsir Pancasila” ini menjelaskan tentang bagaimana pancasila yang telah melewati berbagai tafsir sepanjang sejarah politik negara ini, yang bergantung pada konteks dan kekuasaan pada saat itu. di zaman orde lama, pancasila ini dikaitkan dengan konsep sosialisme dan demokrasi yang terpimpin. dan di era orde baru, pancasila dijadikan alat untuk mengontrol ideologis untuk menekan oposisi dan dipaksakan sebagai asas atau dasar tunggal bagi seluruh organisasi. pada zaman pasca-reformasi, pancasila sempat terpinggirkan, lalu kembali terdepankan sebagai simbol kebhinekaan. terutama dalam merespons gerakan Islam politik.


Dalam laporan ini, ditegaskan bahwa pancasila ini bersifat multitafsir, banyak kelompok manusia yang mencoba mengartikan atau menafsirkannya sesuai dengan kepentingan mereka. di satu sisi pancasila diusung sebagai simbol pemersatu bangsa, tetapi di sisi lain, juga digunakan sebagai pembatas kebebasan beragama dan berekspresi.


arti hidup bagi saya :

hidup adalah perjalanan menuju akhirat, yang di setarakan dengan ilmu serta ujian didalamnya.


  1. Willy - 2410101027

Dalam buku Polemik tafsir pancasila yang di terbitkan oleh CSCR UGM, membahas bagaimana pancasila di tafsirkan dari periode ke periode. Untuk mengeksplorasi hal itu, lima isu akan di bahas di buku ini yaitu:

1.     Pancasila dan Islam

Di orde baru, isu yang paling panas dan lama di perdebatkan adalah isu dasar negara, di karenakan partai partai politik yang ada terbagi menjadi tiga bagian yaitu: Pancasila, Islam, Dan Sosio-Ekonomi.

Pancasila dipahami dan di tafsirkan dengan cara yang berbeda oleh setiap partai politik tapi pada intinya hampir semua partai beranggapan bahwa pancasila tidak memiliki makna yang jelas atau bisa di bilang ambigu, terlebih lagi dari kelompok partai islam berusaha menunjukkan bahwa ideologi islam lebih jelas daripada pancasila.


2.     Pancasila dan Organisasi/Partai Islam

Pancasila meiliki beragam tafsir sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa Orde Baru, Pancasila digunakan sebagai ideologi eksklusif dan menjadi dasar dari segala hukum melalui TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Pemerintah menggalakkan penerapan Pancasila secara luas, termasuk melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang mendapat penolakan dari PPP dan tokoh-tokoh Islam karena dianggap menyerupai agama.

Penolakan terhadap asas tunggal memicu ketegangan dan kekerasan, seperti peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989). Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa Pancasila dapat ditafsirkan secara fleksibel sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa, bahkan digunakan sebagai alat untuk menekan oposisi.


3.     Pancasila dan Marxisme/Komunisme

Orde baru melarang keras ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme dengan beralasan Marxisme adalah paham anti-agama, berbeda dengan orde lama yang di pimpin oleh Sukarno sebagai orang yang berpengaruh dalam menggagas Marxisme. Sukarno berargumen bahwa tiga kekuatan yaitu Nasionalisme,Islamisme, dan Marxisme harus bersatu dalam memperjuang kemerdekaan dan melawan imperialisme. Sukarno juga menggagas “Sosialisme ala indonesia” dan Nasakom yaitu: nasionalis, Agama, dan Komunis.

 

4.     Pancasila dan Demokrasi

Penerapan Pancasila dalam tata negara berubah sepanjang pemerintahan. Sila keempat, tentang musyawarah, kerap dijadikan dasar sistem pemerintahan. Era Sukarno (Demokrasi Terpimpin) dan Soeharto (Demokrasi Pancasila) menunjukkan otoritarianisme berbasis Pancasila, dengan kekuasaan terpusat pada presiden. UUD 1945 sebelum amandemen cenderung mendukung otoritarianisme karena lemahnya checks and balances. Interpretasi Pancasila memungkinkan demokrasi maupun otoritarianisme tergantung tafsir penguasa.

 

5.     Pancasila Pasca-Reformasi

Pasca-Reformasi, Pancasila awalnya jarang dibahas karena dikaitkan dengan Orde Baru. Amandemen UUD 1945 menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Pada 2000-an, Pancasila kembali digaungkan, terutama dalam menghadapi gerakan Islamis. Islamisasi dari bawah berkembang, memicu reaksi pro-Pancasila sebagai simbol kebinekaan. Kelompok Islamis juga mengapropriasi Pancasila, menekankan sila pertama sebagai tauhid. Diskursus ini mencapai puncaknya dalam putusan MK terkait UU Penodaan Agama, yang menegaskan nilai agama sebagai pembatas hak asasi.

 

Makna hidup: hidup adalah tentang pikiran yang mencari, menemukan, dan mepelajari apa yang tidak di ketahui sebelum pikiran itu menghilang, dalam arti pikiran itu adalah manusia itu sendiri

 

 
 
 

Comentarios


© 2025 by IF24.

bottom of page